SANTRI KESAYANGAN
Jumat
sore, setelah shalat ashar, Gus Coy bersama dua orang temannya, Gus
Iding dan Gus Mao, jalan-jalan ke kampung sebelah untuk menikmati
cimplung, makanan khas di sana yang terbuat dari ubi yang dimasukkan ke
adonan gula aren. Sore itu memang tidak ada jadwal pengajian yang harus
mereka ikuti. Dengan penuh antusias, mereka tampak asyik bercanda,
seakan-akan lupa dengan semua deretan catatan hutang makan di warung Bu
Kasmah.
Tak
terasa, hari sudah semakin senja dan waktu maghrib pun tiba. Sementara
mereka masih berada di tengah pematang sawah, terdengar suara Pak Bau
mengumandangkan azan. “Wah alamat terlambat nich!” gumam Gus Coy, ”
“Waduh,
mana harus melewati rumah Pak Kyai lagi!” seru Gus Iding kebingungan
juga. Agaknya terbayang di mata mereka gunting Azhari yang siap
men-tashrif rambut mereka menjadi botak tidak karuan.
Berbeda
dengan kedua temannya, Gus Mao terlihat tenang-tenang aja. Jangan kan
takut, gelisah pun tidak. Dia malah mengajak Gus Coy dan Gus Iding
untuk jalan santai saja, tidak usah terburu-buru. Maklum, Gus Mao
dikenal sebagai santri kesayangan Pak Kyai, sementara Gus Coy dan Gus
Iding dikenal sebagai santri yang bengal dan nakal, tapi harus diakui
kalau keduanya pintar, terutama Gus Coy. Yah dia masuk dalam aliran
al-sharf umm al-ulum wa al-nahw abuha.
La
ilha ill allah, demikian Pak Bau mengakhiri iqamahnya. Pertanda shalat
maghrib berjama’ah sudah aka dimulai. Sementara ketiga gus itu baru
sampai dibelakang rumah Pak Kyai dalam keadaan kotor karena belum
mandi. Mereka terus berjalan mengendap, dan apa yang mereka takutkan
pun terjadi. Tepat di depan rumah Pak Kyai, mereka bertemu dengan
pengasuh Sirajuddin itu. ” Heh, dari mana saja kalian!” gertak Pak Kyai
yang belum menyadar kalu Gus Mao ada diantara mereka.” Maaf Pak Kyai,
kami baru pulang dari kampung sebelah,” kata Gus Mao. Sadar kalau Gus
Mao, Pak Kyai berkata, ” Oh, kamu Mao, ya udah cepetan mandi dan shalat
berjama’ah. Dan kalian berdua, Gus Iding dan Gus Coy, setelah shalat
langsung lapor ke kantor.”
Terbayang
kembali gunting azhari yang mencukur bebebrapa rambut Gus Coy dan Gus
Iding. Sementara Gus Mao berjalan tenang menuju biliknya, Gus Coy dan
Gus Iding tampak menggerutu. Saat itu, Gus Coy berkata, ” Dasar Isim
Ghairu Munsharif!” Meski tidak faham dengan maksud perkataan Gus Coy,
Gus Iding tidak memperdulikannya. Mereka bertiga pun berlalau menuju ke
bilik untuk mandi dan shalat maghrib.
Selesai
shalat, Gus Coy dan Gua Iding melaporkan kesalahan mereka ke bagian
keamanan, Azhari. Agaknya, Pak Kyai telah memberitahukan terlebih
dahulu perihal kesalahan mereka berdua kepada sang algojo. Azhari pun
sudah mempersiapkan gunting untuk mencukur rambut mereka berdua.
Assalamu’alaikum,
seru mereka berdua sambil membuka pintu kantor. Azhari
menjawab,”Wa’alaikumussalam, silahkanm masuk! Kenapa kalian berdua
tidak mengikuiti shalat maghrib berjama’ah?” tanya azhari. Gus Coy
menjawab,”maaf, tadi kami habis dari kampung sebelah.” Azhari berkata,
“Tapi kamu tahu kan bahwa tidak mengikuti shalat maghrib berjama’ah
adalah melanggar peraturan dan harus mendapatkan hukuman?!”" tahu,,,,”
jawab mereka kompak namun pasrah.
“Sini,
aku potong lagi rambut kalian, ” seru Azhari. Mereka berdua pun
terduduk lemas, menerima hukuman dipotong rambutnya. Ketika Gus Iding
mengadu bahwa Gus Mao juga ikut bersama mereka, Azhari cuma berkata, ”
Gus Mao menjadi urusan Pak Kyai.! Mendengar jawaban Azhari spontan Gus
Coy bersungut, ” dasar Jama’ Muannats Tsalim.! Gus Iding pun dibuat
hetran untuk yang kedua kalinya.
Proses
hukuman selesai, mereka berdua keluar untuk mengikuti kegiatan
pengajian sebagaimana biasanya di depan kantor mereka bertemu dengan
Gus Mao yang sedang menertawakan mereka berdua.” Rambut kalian kenapa?
Kok pada belang-belang begitu? Habis dibotakin ya?” ejek Gus Mao. Gus
Iding berkata kesal,! Iya nich kamu kok gak dapat hukuman. Padahal ke
kampung sebelah kan atas ajakan kamu juga?! ” Gus Mao berkata, ! kata
siapa, barusan aku juga dibilangin sama Pak Kyai tapi mendingan sich,
enggak dibotakin kayak kalian. He…he…! mendengar itu, Gus Coy kembali
bersungut dasar fi’il mudhari mutta akhir.”
Dibikin
bingung untuk yang ketiga kalinya, Gus Iding menanyakan perkataan Gus
Coy yang tidak bisa dipahaminya.! Apa sich yang kalian maksud dengan
Isim Ghair Munsharif, Jama’ Muannats Tsalim dan Fi’il Mudhari Mu’tal
Akhir ? agak heran, Gus Coy balik bertanya, masa kamu tidak paham
dengan ketiga-tiganya sich? Pernah belajar ilmu Nahwu tidak?” kesal
dengan respon Gus Coy, Gus Iding berkata kalau pengertian dari
ketiganya sich aku tahu yang aku enggak ngerti, hubungan ketiganya
dengan kejadian yang kita alami dan juga dengan Gus Mao.”
He…he…he…
kalau itu sich kamu harus nyantri dua tahun lagi,’ ejek Gus Coy. ” Ya
udah, kalau kamu enggak mau ngasih tahu. Aku enggak maksa kok,! Seru
Gus Iding sewot.! Eee.. gitu aja marah. Aku nyeut Gus Mao dengan Isim
Ghair Munsharif, Jama’ Muannats Tsalim, dan Fi’il Mudhari Mu’tal Akhir,
karena dia selalu memperoleh perlakuan khusus. Ibarat Isim Ghair
Munsharif karena hanya dialah yang dibaca fathah meski dalam kedudukan
majrur . Bak Jamak Muannats Tsalim karena hanya dialah yang dibaca
karah meski dalam kedudukan Nashab. Dan ibarat Fi’il Mudhari Mu’tal
Akhir karena hanya dialah yang alamat jazm-nya dengan membung huruf
illat. Dalam hal ini Gus Mao memiliki ketiganya. He…he…he… paham!”
Bingung dengan penjelasan Gus Coy, Gus Iding mengangguk sambil berkata,!
Oh… begitu toh maksudnya.